Ketika mata memandang keluar rumah, maka akan tampak segala macam bentuk “ketidakwajaran”. Negeri ini kaya akan sumber daya alam, potensi tambang melimbah ruah, baik minyak, gas, batu bara, emas, timah, dan lainnya. Belu lagi ditambah kekayaan alam berupa hutan dan laut. Dalam logika sederhana kita membayangkan bahwa manusia yang tinggal di negeri ini, juga negeri-negeri disekitarnya, seharusnya hidup dalam kesejahteraan menikmati semua kekayaan itu.
Anehnya, rakyat negeri ini tak ubahnya manusia yang ada di padang pasir yang tandus dengan air yang terbatas dan cuaca yang labil dan membahayakan keselamatan jiwa. Inilah kenapa penulis menyebut negeri ini penuh dengan “ketidakwajaran”: paradoks.
Lebih dari itu, para pemimpin negeri ini melalaikan tanggung jawab (baca: kewajiban) mereka sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Seolah-olah akan hidup selamanya, meraka berani mengabaikan hokum-hukum Allah SWT. Inilah kesalah mendasar yang melahirkan kesalahan dan masalah lain yang kemudian menimpa ummat ini. Akibat perilaku penguasa lah, maka Allah menimpakan adzab kepada negeri ini.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)
Inilah kondisi ummat ini. Inilah kerusakan yang bercokol ditangah-tengah ummat. Kerusakan yang disebabkan ulah tangan manusia itu sendiri.
“Telah Nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Tentu saja sebagai manusia yang berakal, kita tak inginkan keadaan ini bertahan. Apalagi sebagai seorang yang beriman, sudah menjadi kewajiban kita untuk merubah kerusakan dan kemaksiatan ini dengan segenap kemampuan yang kita bisa. Kitalah yang bisa melakukan perubahan, karena Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak akan merubah keadaan, kecuali kita sendiri yang merubahnya.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Lebih-lebih lagi Rasulullah telah mewanti-wanti dan memerintahkan agar semua orang, siapa saja, untuk merubah kemungkaran yang ada didepannya, dengan semaksimal kemampuan yang dimilikinya.
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya, hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah." (HR. Muslim).
Untuk melakukan suatu perubahan, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan. Sebagaimana perkataan syaikh Ahmad Athiyyat dalam Ath-Thariq: Dirasatun Fikriyyatun Fii Kayfiyyah Al-Amal Litaghyiri Waqi’ Al-Ummah Wa Inhadhiha:
“sesungguhnya manusia tidak (akan) berfikir tentang perubahan kecuali jika dia memahami bahwa disana (di dalam kehidupannya) terdapat realitas yang fasid, atau buruk atau paling tidak tidak sesuai dengan yang seharusnya. Untuk didapatkan pemahaman tersebut (disini) maka adalah suatu keharusan adanya ihsas atas realitas yang fasid tersebut.”
Selanjutnya beliau menambahkan,
"Hanya saja, sekedar sadar terhadap kerusakan atau realitas rusak tidaklah mencukupi untuk melakukan perubahan; akan tetapi –disamping hal itu (kesadaran terhadap realitas rusak)— harus ada kesadaran terhadap realitas pengganti untuk (menggantikan) realitas yang rusak".
Dari perkataan syaikh Ahmad Athiyyat diatas, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah penyadaran terhadap ummat bahwa kondisi saat ini adalah kondisi yang “tidak wajar”.
Ini adalah keadaan yang tidak semestinya terjadi. Agar ummat sadar maka haruslah dijelaskan bahwa realita yang terjadi saat ini, berupa kemiskinan, kebodohan, keterbalangan, dan berjibun problematika ummat yang ada disebabkan oleh system yang ada.
Demokrasi-Kapitalis-Sekuler yang memberikan wewenang kepada manusia untuk membuat aturannya sendiri, merupakan sumber kesengsaraan ummat ini. Dengan keterbatasan akal yang dimiliki, manusia berusaha menata kehidupan mereka sendiri, yang tentu saja manfaat bagi kepentingan pribadi dan kelompok menjadi prioritas. Inilah realitas yang harus terus menerus disampaikan kepada ummat hingga mereka menyadarinya.
Ternyata kesadaran ummat terhadap kerusakan realitas yang ada tidak akan pernah menghasilkan perubahan kecuali ada solusi yang ditawarkan. Maka, langkah kedua yang juga menjadi point penting perubahan adalah memberikan satu gambaran terhadap realitas ideal yang akan menjadi arah perubahan, realitas yang akan menjadi pengganti realitas yang rusak tadi.
Allah SWT telah mewajibkan kepada sebagian ummat ini agar melakukan seruan kepada islam. Karena islamlah jawaban terhadap segala problematika yang ada, sebagaimana firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Seruan yang dimaksud adalah seruan yang memberikan jawaban terhadap segala masalah ummat. Seruan yang menggambarkan kesempurnaan islam dalam mengatasi semua aspek kehidupan, mulai dari aqidah, ibadah, politik, ekonomi, pendidikan, dan semua hal yang berkaitan dengan manusia. Dengan islam lah kesejahteraan akan benar-benar terwujud, karena aturannya adalah aturan yang dibuat oleh Dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Dialah Allah SWT.
Dua langkah ini harus diserukan dengan lantang, jelas, dan tegas, tanpa melihat lagi apapun hasilnya. Tidak boleh diantara kita kemudian menyembunyikan seruan yang mulia ini dengan seruan-seruan yang semu yang akan semakin menjauhkan ummat dari Islam. Aktivitas inilah yang dicontoh Rasulullah ketika melakukan dakwah tengah-tengah manusia. Ketegasan ini pula yang membuat rasulullah kemudian dimusuhi, padahal beliau adalah orang yang dihormati dan dijadikan rujukan oleh ummatnya. Hal ini bisa kita lihat dari pernyataan para pembesar Quraisy yang merasa keburukannya di bongkar oleh Rasulullah saw, mereka melobi Abu Thalib untuk membujuk Rasulullah agar mengubah dakwahnya:
“Wahai Abu Thalib sesungguhnya engkau memiliki kemuliaan dan kedudukan ditengah kami, dan kami telah minta engkau agar mencegah keponakanmu maka engkau tidak mencegahnya, dan kami, demi Allah, tidak dapat bersabar atas hal ini, dari caciannya atas bapak-bapak kami, dan membodohkan akal kami dan mengejek tuhan-tuhan kami…” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah).
[Muhammad Tohir]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar