Padahal waktu zamannya kerajaan-kerajaan gitu, kita udah termasuk bangsa yang jaya. Tapi kita tetep bisa ambil sampel dari mereka. Plus, mereka bisa mendapatkan pendidikan di tengah penjajahan. Meskipun banyak pejuang lainnya juga yang bisa nggak ngedapetin pendidikan. So, mereka beruntung banget ‘kan? Meskipun mereka mendapatkan pendidikan barat, tapi otaknya bisa dipake buat bangsa. Yach, sedikit teracuni mungkin juga.
Karena emang sulit untuk menghindari pemikiran barat yang dimasukkan ketika menuntut ilmu. Ibaratnya seperti masuk ke sistem, terus nyari kelemahan ‘n peluang yang bisa diambil buat mencapai tujuan. Ato ibarat ikan di laut tapi dagingnya nggak asin. Perlu diingat, nggak ada pelaut handal yang lahir dari laut yang tenang. Tumbuh dengan pergolakan yang menempanya menjadi lebih bersemangat.
Sekitar tahun 60-an, Negeri ini cuma punya sedikit Universitas, tapi jiwa dan semangat mahasiswanya bermutu. Bahkan, negeri tetangga pun belajar ke sini. Dengan mahasiswa-mahasiswa yang bergerak untuk rakyat.
Meskipun sibuk dengan agenda organisasi, ilmu perkuliahan tetep dapet, jadi ngga sekedar nilai dan IP. Kadang-kadang, nggak sedikit juga yang harus menempuh kuliah 8-10 tahun untuk mendapatkan kelulusan. Karena kuliah nggak sekedar kuliah, memperluas link, jaringan, ‘n cari tambahan dana kuliah. Walaupun waktu itu kuliah tergolong murah, tapi bagi ortu yang ekonominya rendah tetep aja mahal. Jadi nggak sedikit yang harus kerja kasar supaya tetep bisa kuliah. Ngandelin ortu aja nggak bisa.
Mereka nggak malu ngelakuin itu. Karena itulah realita yang ada. Bukan sekedar huru-hara. Bahkan anak petani pun bisa mencapai cita-citanya untuk jadi dokter, tidak seperti saat ini. Meskipun sebelum BHP dilaksanakan.
Tapi, masih bisa saja parpol-parpol memanfaatkan semangat mahasiswa berorganisasi untuk merekrut kader. Mahasiswa yang silau dengan jabatan nggak jarang jadi korban dan berubah menjadi orang yang mereka tentang. Film Gie menggambarkan dengan sangat jelas tentang keadaan saat itu. Pertama kalinya mahasiswa menjatuhkan rezim. Sayangnya melahirkan rezim yang rusak juga. Rezim yang menggadaikan bangsanya dengan halus dan bertangan besi terhadap rakyat.
Setelah tahun 80-an, mahasiswa mulai melemah karena kukungan dan keterikatan penguasa. Tapi denyut nadi aktivis muda masih bergolak. Perlahan tapi terus. Pergerakan rahasia berjalan. Kalo buka-bukaan pastinya dibabat habis. Setidaknya jiwa mahasiswa saat itu masih lebih baik. Tidak hanya sekedar titel dan kerja nyaman, tapi ada idealisme untuk mengangkat harkat dan martabat kaum kecil.
Puncak krisis kebebasan ini adalah pada tahun 1998. Mahasiswa bergerak. Mahasiswa berteriak. Fakta dan realita yang dibeberkan semakin membakar semangat mahasiswa. Akhirnya, mahasiswa kembali meruntuhkan rezim untuk yang kedua kalinya. Sayangnya, mereka tidak mempunyai solusi dan orang yang tepat untuk memimpin. Mau tidak mau sejarah itu berulang. Semangat reformasi itu pun mulai dibekingi kepentingan politikus.
Saat ini, bisa kita lihat bahwa mahasiswa sedang ditidurkan karena dianggap membahayakan pemerintah. Karena mahasiswalah yang bisa menumbangkan rezimnya pak jenderal. Rezim yang dipenuhi dengan ketidakbebasan ngomongin politik walaupun biaya kuliah murah. Harusnya bisa gratis dilihat dari kekayaan negeri ini yang melimpah ruah. Rakyat hanya menerima sedikit.
Note: Buat tulisan ini abis baca buku “Jangan Sadarin Mahasiswa”. Kurang lebih isinya sama. Ini yang pas bagian awal.