Salam

Pages

Senin, 03 Mei 2010

CARA ISLAM MEMBABAT KORUPTOR (Bag. II)

Wacana Hukuman Tegas bagi Koruptor

Entah karena memang sudah ‘putus asa’, atau sekadar ekspresi emosional sesaat, atau memang bentuk keseriusan dalam memerangi korupsi, sejumlah kalangan lantas mengajukan kembali wacana untuk menindak tegas para koruptor. Paling tidak, ada tiga usulan yang dilontarkan oleh sejumlah tokoh di seputar perlunya menghukum secara tegas para koruptor, yaitu: hukuman mati, pembuktian terbalik dan pemiskinan.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berulang-ulang mendorong agar hukuman mati bagi koruptor benar-benar dilaksanakan. Ketua MK dalam berbagai kesempatan juga kerap mengeluarkan ungkapan bernada mendesak agar Undang-Undang (UU) Pembuktian Terbalik segera disahkan.

Namun anehnya, semua bagai lepas tangan, merasa bukan urusan mereka. Jaksa dan hakim tak tergerak menuntut/menjatuhkan hukuman mati terhadap koruptor. Terkait pembuktian terbalik, UU-nya sendiri tak kunjung disahkan. Padahal UU tersebut sudah diajukan sejak era Presiden Gus Dur. DPR seperti enggan membahasnya.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berwacana tentang perlunya mengupayakan pemiskinan bagi narapidana yang terlibat tindak pidana korupsi. "Selain hukuman mati, napi korupsi harus dimiskinkan," papar Patrialis. (http://www.facebook.com/l/b37b9;Republika.co.id, 8/4/2010).

Korupsi Masuk dalam Bab Ta’zir

Dalam sistem Islam, tegasnya dalam Khilafah Islam yang menerapkan syariah Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.

Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada Khalifah atau qadhi (hakim). Rasulullah saw. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).

Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

Menurut Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizham al-‘Uqubat fi al-Islam, hukuman untuk koruptor adalah kurungan penjara mulai 6 bulan sampai 5 tahun; disesuaikan dengan jumlah harta yang dikorupsi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209). Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).

Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja koruptor dihukum mati.

Segera Tegakkan Syariah dan Khilafah!

Wacana tentang perlunya menindak tegas para koruptor boleh saja terus bergulir, termasuk kemungkinan pemberlakuan hukuman mati. Namun persoalannya, di tengah berbagai karut-marutnya sistem hukum di negeri ini, didukung oleh banyaknya aparat penegak hukum yang bermental bobrok (baik di eksekutif/pemerintahan, legislatif/DPR maupun yudikatif/peradilan), termasuk banyaknya markus yang bermain di berbagai lembaga pemerintahan (ditjen pajak, kepolisian, jaksa, bahkan hakim dll), tentu wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana. Pasalnya, wacana seperti pembuktian terbalik maupun hukuman mati bagi koruptor bakanlah hal baru. Ini mudah dipahami karena banyaknya kalangan (baik di Pemerintahan, DPR maupun lembaga peradilan) yang khawatir jika hukuman yang tegas itu benar-benar diberlakukan, ia akan menjadi senjata makan tuan, alias membidik mereka sendiri.

Semua langkah dan cara di atas memang hanya mungkin diterapkan dalam sistem Islam, mustahil bisa dilaksanakan dalam sistem sekular yang bobrok ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan sistem Islam dalam wujud tegaknya syariah Islam secara total dalam negara (yakni Khilafah Islam) tidak boleh berhenti. Sebab, tegaknya hukum-hukum Allah jelas merupakan wujud nyata ketakwaan kaum Muslim. Jika kaum Muslim bertakwa, pasti Allah SWT akan menurunkan keberkahannya dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ[

Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).

Lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Penegakkan satu hukum hudud di muka bumi adalah lebih lebih baik bagi penduduk bumi daripada turunnya hujan selama 40 hari.” (HR Abu Dawd).

Wallahu a’lam bi ash-shawab. []

KOMENTAR ALISLAM:

Peta Dakwah Perlu Dibuat (http://www.facebook.com/l/b37b9;Republika.co.id, 27/4/2010).

Tak kalah penting: tetapkan muaranya, yakni tegaknya syariah dan Khilafah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar